Kamis, 18 Desember 2014

Sejarah FC Barcelona

Pada 13 September 1923, Primo de Rivera telah menguasai pemerintahan lewat sebuah kudeta militer dan segera mendapat legitimasi dari Alfonso XIII (Payne: 1999, p.24).
Meski gaya kepemimpinannya terlihat popular di awal, Primo de Rivera segera menunjukkan pergeseran ke bentuk fasisme.
Dia dikenal dengan pernyataannya, “Fasisme adalah sebuah fenomena universal yang seharusnya menguasai seluruh bangsa” (Payne: 1999, p.28).
Pergeseran ini mendorong semakin kuatnya sentralisasi ala Madrid (Burns: 1999, p.86-87), dimana paham Catalanisme semakin terdesak untuk bisa menunjukkan ekspresi sosial politiknya. Primo de Rivera menolak permohonan otonomi dari Catalonia, yang diduga dikarenakan oleh tekanan sejumlah figur militer pada saat kudeta (Rial: 1986, p.94).

Kaitan pertama FC Barcelona dengan aksi politik terjadi pada Juni 1925 pada sebuah pertandingan di lapangan Les Corts milik (Ball: 2003, p.92-93). Primo de Rivera telah mencabut keabsahan pemerintahan lokal dan penggunaan bahasa Catalan beberapa bulan sebelumya. Namun pertandingan itu digunakan sebagai kesempatan politik bagi warga Barcelona.

Pada saat jeda, band Royal Marines mempelesetkan lagu nasional Spanyol sebagai sebuah sinyal jelas ketidaksenangan yang langsung diganjar dengan sebuah dekrit militer dan denda terhadap klub dan pembekuan operasionalnya selama enam bulan (Burns: 1999, p.86-87). Kejadian ini menjadi sinyal publik pertama yang mengaitkan FC Barcelona dengan nasionalisme Catalan.

Kemunculan paham Catalanisme pada masa itu sangat lekat dengan keberadaan FC Barcelona. Prolog pada sejarah resmi klub mengklaim bahwa “sepanjang masa sulit tersebut, FC Barcelona menjadi standar yang mewakili Catalonia dan keinginan penduduk Catalan untuk kebebasan.” (FC Barcelona: 2011). Kaitan politik ini terlihat tumbuh formal selama rezim Primo de Rivera.

Pada 1928, menjelang akhir rezim Primo de Rivera (Payne: 1999, p.35), seorang tokoh Catalan bernama Josep Sunyol bergabung dengan dewan FC Barcelona dan menjadi presiden Federation of Associated Catalan Football Clubs (Burns: 1999, p.96).
Pendiri surat kabar La Rambla (Burns: 1999, p.96) ini diakui sebagai tokoh kunci yang mengkombinasikan olahraga dan paham politik Catalanisme.
La Rambla semakin terlihat cemerlang seiring prestasi FC Barcelona, sehingga muncul sebuah aturan sosial baru dimana “sepak bola dan politik membentuk sebuah bagian esensial dari masyarakat demokrasi sejati.”

Setahun setelah kejatuhan Primo de Rivera pada 1930, Sunyol terpilih menjadi anggota parlemen baru di Madrid, sebagai anggota Esquerra Republikana de Catalunya, yang merupakan sebuah partai sayap kiri baru di Catalan.
Dengan anggota dewan lain memiliki asosiasi kuat terhadap partai politik besar lainnya di Catalonia, the LLiga Regionalista, hirarki klub menunjukkan posisi politik yang semakin jelas.

Sejatinya, momen politis paling signifikan dalam sejarah FC Barcelona terjadi saat Josep Sunyol tewas tertembak dalam perjalanan dengan mobil berbendera Catalan melewati pegunungan yang dikuasai oleh pasukan Falangis pada 6 Agustus 1936.
Eksekusi Sunyo diyakini oleh David Goldblatt (2006, p.302) sebagai faktor penguat hubungan klub dengan perpolitikan berpaham Catalanisme.

Sejarah resmi klub mengklaim bila Sunyol adalah presiden martir (FC Barcelona: 2011) dan menjadi korban utama perpolitikan klub.
Pada akhir perang sipil, Jenderal Franco mengeluarkan sebuah pernyataan yang menyebut bahwa klub telah menjadi pusat aktivitas politik.
“Pada suatu waktu, (Sunyol) menjadi presiden klub sepak bola Barcelona, dan bertanggung jawab untuk sikap anti-Spanyol yang diadopsi klub” (Burns: 1999, p.110-111).

Kematian Sunyol telah menjadikan FC Barcelona sebuah kendaraan sosial politik hari ini. Phil Ball (2003: p.99) menulis, “Kematian Sunyol sekarang dilihat sebagai momen yang benar-benar mendefinisikan klub, dalam kaitannya dengan ideologi, separatism budaya, kemerdekaan dan hak otonomi.
Ini membuktikan kemudian bahwa Barca bukanlah sekedar klub, dan sisi sejarah ini memberikan rasa nyaman bagi pengusung bendera klub pada masa sekarang ini.”

Pasukan Jenderal Franco berbaris memasuki kota Barcelona pada 26 Januari 1939, dan perang sipil segera dimulai (Goldblatt: 2006, p.303). Kejatuhan kota menurunkan pengaruh politis FC Barcelona, dimana rezim baru menganggap bahwa klub adalah instrumen otonomi regional yang harus didiamkan (Goldblatt: 2006, p.305). Sejatinya, Franco hendak mempermalukan klub dengan menunjukkan nasionalisme Catalan sebagai hal yang memilukan dan bertentangan dengan ideologi Spanyol.

Jadwal pertama yang dimainkan di stadion Les Corts setelah selesainya perang sipil diawali dengan perayaan penyerahan upeti kepada rezim baru, dimana pejabat fasis hadir untuk mendeklarasikan “pengusiran setan jahat berupa roh separatisme” dari klub (Burns: 1999, p.124).

Seperti yang ditulis oleh Stanley Payne (1987, p.231) dalam bukunya The Franco Regime: 1936-1975, pemerintahan Franco adalah yang sangat tersentralisasi dalam sejarah Spanyol hingga saat ini, namun memunculkan sikap “negara sendiri” bagi penduduk Catalonia dan Basque.
Catalonia dipimpin oleh sebuah administrasi pengawasan khusus, dimana penggunaan bahasa Catalan sangat dilarang di depan umum, tidak boleh digunakan dalam literatur, perayaan agaman dan sistem hokum (Payne: 1987, p.231). Sejatinya, FC Barcelona pun dipaksa untuk mengganti namanya menjadi Castillian Barcelona Club de Futbol, sebuah nama yang dirancang untuk menghilangkan sentiment Catalan dari klub dan secara formal memutus sejarahnya (Burns: 1999, p.127-128).

Sementara Franco ingin mendorong sepak bola sebagai bagian depolitisasi di wilayah Spanyol, ada beberapa batasan yang diletakkan pada FC Barcelona (Goldblatt: 2007, p.305). Klub bisa saja memenangkan piala namun mereka dilarang untuk mengekspresikan kemenangan. Pada zaman Franco, sepak bola diekspresikan sebagai bentuk kekuasaan, sebuah instrumen penyatuan dan penetral bagi massa (Burns: 1999, p.134). FC Barcelona, seperti halnya organisasi lainnya, dipaksa untuk menyesuaikan diri.

Dengan dilucuti identitas politiknya dan dibatasi kegiatannya dalam bersaing dengan Real Madrid (Goldblatt: 2007, p.305), FC Barcelona telah kehilangan identitas politik dan budayanya, terutama sejak diatur oleh manajemen yang merupakan simpatisan Fasis (Burns: 1999, p.128-130).