Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam
kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya
seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita
diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut
identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.
Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak
sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar.
Sebagaimana identitas Dayak yang
pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru
identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak
yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang
dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea,
ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten
Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang,
sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini
menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka
oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika
pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang
Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld,
seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk
melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di
sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah
bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat
dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di
Singkawang.
Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang
Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang
antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak
Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari
bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and
Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau
Kendayan Tua.
Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan
Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk
keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak
sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada
waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).
Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985),
sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina
(mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar
seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui
Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia
dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya
melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara
ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke
perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa
kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang
sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli
ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah
mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka
dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum
mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah
lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).
Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga
ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan
kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini,
kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat
sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang
(Takdir;2003).
Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide
yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak
Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan
sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai
bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada
orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin
karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari
kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo,
1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para
pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan
sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas
menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan.
Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau
disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok
Austronesia (Simon;2003)
Ciri lain dari warisan budaya nenek
moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah
meninggal, dengan cara dibakar. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk
menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran
itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk
yang sangat belakangan di India”
Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu
disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat
mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti
patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi
pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di
Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam
pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).
Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng,
Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun
1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi
hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas.
Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi
ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan
menetap dikawasan itu.
Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep
jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”.
Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang
disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh
dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng
(bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah
pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau
sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai.
Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut
Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut
Salako.