Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis
tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak
saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi
didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit,
dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“Siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
Bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan
turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn
terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya
dan tampan.
“ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi
jodohku..” Dayakng Gulinatn (berkata dalam hati).
Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan
pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu.
Pada suatu ketika tiba-tiba Dayakng Gulinatn hamil.
“ hahhhh ……., aku hamil ? “ Dayakng Gulinatn heran.
Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa
anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.
Meskipun demikian, dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn
tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan
sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari
rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan
deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari
lamanya.
Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung
itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan
diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua,
pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti
dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “
kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn,
ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda
setuju.
Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari.
Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya.
Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi menemui ibuku”
Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari.
Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya.
Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi menemui ibuku”
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari.
Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang ada, kemudian ibunya memasak,
setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak
Mantaari berkata pada Nyangko.
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari
ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah
penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar
Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko
nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.
Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan,
ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku
kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau,
kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia
takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa
ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya
Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti
manusia biasa lagi. Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini
dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang
wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang
tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar
masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang
buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar
suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi
yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya
ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik
di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan
dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng. Setelah cukup
umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga
hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging
binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa
jenis pakis tertentu.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya
terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang).
Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian
turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya
ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi
kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang
saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis
tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga
orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah
satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang
menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja
hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang
dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk
Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga
malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara
kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong
(balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn
(dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang
melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu
yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng
kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk
membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante
selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja.
Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti
jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian
memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng
(gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa,
lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga.
Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo
yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin
rapat. “ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja
pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk
kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja
menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian,
persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai
ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng,
hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu.
Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang
Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada
dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng
Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan
bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari
bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam
kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba
hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).
Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari
gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari
dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang
bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya,
saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn
pergi terbang ke negeri Sapangko.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari
lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung. Melihat kejadian yang
menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng
Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari.
Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan
penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah
beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya
acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin
dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya.
Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena
selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung
tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh
kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo”
Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka.
Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan
kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak
Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap
sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya
Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar,
pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan
cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara
adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali
Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko.
Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak
sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke
kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko,
“tutur bibinya kepada Nyangko”
Mendengar cerita dari bibinya demikian tragis, Nyangko
bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan
ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya.
“ bagaimanapun aku harus pergi ke negeri Sapangko tempat di
mana ibuku berada, apapun resikonya“ kata Nyangko kepada bibinya.
Bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut.
Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko
“kapan kamu mau berangkat” ?
“pagi besok “jawab Nyangko bertekad
Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko
berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian
yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah
sampai di Negeri Sapangko.
Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di
kampung untuk menjenguk ibunya.
“Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn
“Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh
Santak Mantaari, “kata Nyangko.
“O o, kalau begitu akulah ibumu,” ucap Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian
pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis,
Nyangko bertanya pada ibunya,
“ kemana ayahku bu”
“Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari
dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi
ayahmu datang”, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga
rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada
di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, apa
yang kamu lakukan disini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko
“E e itulah ayahmu nak !
“Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah
percaya!” kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya
karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, “oh… dia ini anakku yang
kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang
lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku
terbang”.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari
seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
“Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki
untuk bertemu dengan dia kembali, kalau kau benar-benar anakku sekarang kamu
makan ikan ini” Santak Mantaari menawari Nyangko Ikan sebesar 4 jari “makan
ikan itu, dan telan langsung”. Santak Mantaari berniat membunuh Nyangko.
Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan
tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata
Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”.
“Iya“ jawab Nyangko.
Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak
ke hutan yang dihuni banyak ular berbisa, Nyangko tidak menyadari akan niat
busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu
karena Ia lebih paham situasi di hutan tersebut. Keetika mereka memasuki huutan
tersebut, Nyangko melihat banyak sekali Ular muncul di hadapannya dengan ukuran
yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan
mati oleh ular-ular tersebut. Di antara ular tersebut ada satu ekor yang paling
besar dan berkata pada Nyangko jangan takut, kami tidak akan mengganggumu”.
Okelah kata Nyangko.
Kemudian oleh raja ular, Nyangko di beri bekal sebotol
kecil obat penawar bisa. Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko
baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belakang untuk mengetahui
keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan
Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku
ajak kesarang Beruang biar dia mampus !
Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama
isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya
Nyangko sangat suka di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata
isterinya. Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari
sirih di hutan sana, hanya saja rumpun sirih itu berada dekat sarang Beruang,
apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani !
jawab Nyangko. Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut,
kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh
Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi
lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di
sarangnya.
Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut
dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung
menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti
kamu apalagi membunuhmu”
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok
kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir,
karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebah, dan mulai
terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya
sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah
mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani,
ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan
tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan
ada sarang lebahnya.
Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya,
mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang
lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat
tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang
naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh
ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di
atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,”
sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya
ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk
mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak
ayahnya pulang.
Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak
teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega,
Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek
Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari
Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko
berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis
alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn”
mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima
berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong
sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala
tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun
langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala
tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main
lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko
sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat
bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut,
namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.
Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima
berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di
tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata
Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan
ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko
mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko
benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya.
Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia
bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan,
ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan
darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami
berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan,
melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat
udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di
cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan
kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat
kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat
tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan
kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala
yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu
sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada
Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko. Entah
kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng. Ini punyaku, kepala
pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut
bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di
dahului oleh Nyangko.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng,
datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu
ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn
basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi.
Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’
kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah
di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang
(sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti
kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata
khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan
disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia
memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian
pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga
dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal
kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata
“..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh
manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia
dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi
itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga
ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam
hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng
kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda
tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya,
kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta
belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’
bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir
(tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak
menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon,
akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng
mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan
upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam
peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang
Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka
ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan
dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti.
Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat
jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus
penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah),
bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan
tujuannya pada kamang.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi
pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya
di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar
tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri
ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng,
Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan
tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu
datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk
Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu
dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul
dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu
dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke
ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan
menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang
terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide
(tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa
berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi
lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati
bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu
malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng
(manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah
meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak
(patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak
Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti,
didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan
tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat
(pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor,
parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor
(dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu
dipersembahkan. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang
tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia
membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat
Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan
sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang
sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh
dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa
menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.