Untuk memenuhi syarat otentisitas, saya
menyatakan bahwa yang tertulis di bawah ini adalah resume yang saya buatkan
atas disertasi orang lain mengenai peran FC Barcelona dan Real Madrid dalam
sejarah sosial politik Spanyol.
Setelah membacanya, saya berpikir bahwa
substansi isinya dapat mencerahkan pemahaman kita mengapa El-Clasico selalu
ditunggu-tunggu dengan bermacam-macam simbol yang ditampilkan di dalam dan luar
lapangan. Akhirnya, semoga pertandingan pagi hari nanti berlangsung menarik dan
penuh aksi memukau. Salam kompak untuk para Barcelonistas dan jabat tangan saya
khusus untuk para Madridistas.
.
Perkenalan
Olahraga dan politik, sering disebutkan
sebaiknya tidak bercampur. Bagaimanapun, sekeras apapun usaha kita memisahkannya,
pemerintahan dan fenomena sosial-kultural mungkin telah secara rutin melanggar
wilayah lainnnya sepanjang sejarah (Allison: 1986, p.12). Tak perlu
kemana-mana, ini telah semakin jelas di abad terakhir dalam sepakbola Spanyol,
permainan di Semenanjung Iberia telah terlihat sebagai perpanjangan tangan dari
skenario politik domestik dan internasional (Crolley & Hand: 2006, p.114).
Sebagai sebuah area yang secara relatif masih
sedikit mengambil porsi penelitian ilmu sosial, disertasi ini akan memberikan evaluasi
unik terhadap sejauh mana politisasi dua klub paling kaya dan paling besar
dukungannya di Spanyol (BBC: 2010), Real Madrid CF dan FC Barcelona.
Sejumlah pernyataan penting telah sering
diajukan terhadap politisasi oleh kedua klub, tetapi klaim tersebut tidak
pernah dianalisa dari sisi akademis secara mendalam. Disertasi ini, melalui
studi atas momen-momen politis kunci dalam sejarah Spanyol dan referensi
konstan terhadap nilai akademis yang melingkupi topik organisasi dan institusi
politis, akan membedah klaim tersebut dan menguji tiga pertanyaan utama yang
saya harap dapat mencapai sekumpulan kesimpulan yang jelas.
Pertanyaan pertama adalah apa sebenarnya rupa
dari sebuah institusi politis. Saya akan melihat sejumlah pemikiran-perilaku,
teori pilihan rasional, institusionalisme, pendekatan kualitatif dan
kuantitatif dan menilai apakah ada atau tidak cakupan meluas atas definisi
konvensional untuk mengarahkan aksi dari organisasi yang secara tradisional
bukanlah dianggap sebagai “pemerintah”.
Pertanyaan kedua melibatkan dikotomi antara
institusi politis dan organisasi politis. Sementara institusi politis lebih
dilihat sebagai badan administratif formal, organisasi cenderung melibatkan
diri dalam proses politis dibanding membentuk proses-proses tersebut,
memberikan kesempatan bagi warga negara untuk mempengaruhi mereka yang
memerintah (Hague & Harrop: 1982, p.165).
Pertanyaan terakhir adalah untuk menguji
apakah terjadinya keselarasan politis pada klub-klub tersebut memang berasal
dari klub itu sendiri atau sebagai sebuah proyeksi oleh pihak yang
berkepentingan untuk menjadikan mereka kendaraan yang nyaman dan kuat untuk
pandangan politis mereka.
Tujuan dan Metode
Tujuan utama saya adalah untuk menganalisa
sejarah Real Madrid dan FC Barcelona berdasarkan konteks sosial-politis masa
itu dan akhirnya mencapai sebuah kesimpulan mengenai seberapa aktif pengaruh
politis kedua klub sepanjang abad yang lalu. Fokus utama analisa ini adalah
untuk menguji apakah aktivitas politik keduanya memenuhi definisi institusi
politik dari kajian akademis.
Tentunya, untuk mencapai tujuan ini
memerlukan metodologi valid sebagai sebuah struktur yang memungkinkan
temuan-temuan dapat diaplikasikan. Metodologi saya lebih bersifat kualitatif,
eksploratif dan kearsipan. Sumber-sumber utama dalam analisa ini akan berasal
dari kombinasi teori oleh beberapa ilmuwan, seperti Arend Lijphart, Jennifer
Gandhi dan Douglass North, untuk menambah studi sejarah historis kedua klub dan
sejumlah material akademik mengenai politik dan budaya Spanyol abad ke-20.
Sejatinya, sepanjang disertasi ini saya akan
juga mengevaluasi beberapa publikasi utama yang ditulis mengenai hubungan kedua
klub terhadap sistem politik, kolom-kolom para jurnalis seperti Phil Ball dan
Jimmy Burns yang membentuk bank untuk material historis. Apabila relevan, saya
akan juga menggunakan laporan resmi UEFA dan survei mengenai struktur
kepemilikan kedua klub, analisa data yang mereka masukkan untuk menambah elemen
penyeimbang analisa kuantitatif dan primer ke dalam penelitian kualitatif yang
sebelumnya banyak didominasi sumber-sumber sekunder.
Tinjauan Pustaka.
Definisi dasar sebuah institusi adalah sebuah
organisasi dengan sebuah status publik yang anggota-anggotanya berinteraksi
atas dasar peran spesifik di dalamnya. Di dalam lingkungan politik, institusi
mengacu kepada sebuah organ pemerintah yang didasarkan pada konstitusi (Hague
& Harrop: 1982, p.82), meskipun masih ada sejumlah debat akademis mengenai
seberapa jauh definisi ini dapat dikecualikan.
Dapat dikatakan bahwa ilmuwan modern paling
penting mengenai institusi politik, ilmuwan sosial Belanda bernama Arend
Lijphart, telah menjadi sentral pengembangan pemikirian institusi dan
aplikasi-aplikasi yang berbeda di bawah rezim yang beragam.
Untuk perbandingan metodologi, Lijphart mendasarkan
kerangka atas referensi dan temuannya dalam bukunya 1977, Democracy in Plural
Societies: A Comparative Explanation. Mengakui kesulitan pemerintah dalam
memelihara sistem pemerintahan yang stabil dalam masyarakat yang plural dan
memisahkan diri, Lijphart (1977, p.1) fokus pada negara demokrasi, namun
analisanya hanya relevan ke Spanyol pasca Franco sebagai cerminan teori
mengenai kinerja Real Madrid dan FC Barcelona.
Lijphart juga menawarkan kritik atas teori
“keanggotaan tumpang tindih (overlapping memberships) yang dikemukakan oleh
Arthur F. Bentley dan David B. Truman, dimana ketika individu menjadi anggota
beberapa kelompok yang terorganisasi ataupun tidak, pandangannya akan menjadi
moderat (Lijphart: 1977, p.10). Lijphart mengacu pada keadaan dimana keragaman
keanggotaan menghadapkan orang-orang pada tekanan politik lintas kepentingan
dan hasilnya mereka mengadopsi posisi “di tengah jalan (middle-of-the-road)”
(1977, p.10-11), namun dengan Real Madrid dan FC Barcelona dimiliki oleh
anggota mereka dan diasosiasikan dengan beragam pandangan politik, saya yakin
anggapan tersebut akan ditantang oleh penelitian ini.
Dalam bukunya Political Institutions under
Dictatorship, Jennifer Gandhi secara khusus berfokus pada peran institusi
politik dalam rezim non-demokratis, menilai strategi para diktator yang secara
tradisional digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Secara jelas, dengan
proporsi yang besar pada abad ke-20 telah melihat Spanyol diperintah oleh
kepemimpinan otoritarian, penelitiannya sangat relevan terhadap penelitian
dalam subjek ini.
Gandhi menyatakan bahwa institusi yang
biasanya melayani untuk memudahkan tugas memerintah dari diktator merupakan
perpanjangan tangan pemerintah yang sering menekan permintaan oposisi (2008,
p.79). Sejatinya, ini adalah proses kooptasi, dimana institusi menjadi sebuah
kunci konsesi dan persuasi ketika aksi demikian dibutuhkan (2008, p.109).
Walaupun sangat sedikit penelitian Gandhi berfokus pada kekuasaan eksplisit
Franco di Spanyol, dia mengakui pertumbuhan ekonomi yang dinikmati negara
tersebut pada masa kediktatoran fasisnya, dimana pendapatan per kapita melonjak
delapan kali lipat pada tahun 1975 dibanding pada saat selesainya Perang Dunia
II (2008, p.139).
Berangkat dari karya Lijphart dan Gandhi,
ekonom dan sejarawan terkemuka Amerika Douglass North memberikan poin yang tak
mengherankan bahwa sebuah institusi politik dari pijakan tunggal ekonomi, yang
menawarkan deskripsi komprehensif atas apa yang ia yakini sebagai karakteristik
yang seharusnya. North (1990, p.3) menyatakan bahwa institusi adalah “aturan
main (rules of the game)” dalam masyarakat, sebuah instrumen yang membentuk
interaksi manusia.
Dengan melihat institusi politik sebagai
fasilitator struktural dalam kehidupan sehari-hari kita (1990, p.3), North
menarik dikotomi yang jelas antara “institusi” dan “organisasi”. Dia
menyebutkan organisasi sebagai kelompok individu yang diikat oleh kepentingan
umum untuk mencapai tujuan-tujuan, dimana usaha bersama ditanggung oleh sebuah
kerangka institusional yang sudah eksis sebelumnya (1990, p.5). North
berargumen bahwa ada hubungan simbiosi antara organisasi dan institusi, dimana
organisasi berusaha mengubah kerangka kerja institusi dan secara bersamaan
diatur oleh kendala-kendalanya. Mereka mungkin mempengaruhi bagaimana kerangka
institusi dibentuk, namun akhirnya institusilah yang memegang kekuasaan dan
menentukan aturan main (1990, p.5-6). Pandangan North bersifat pluralistic
dimana ia mengakui adanya pengaruh yang dibagi antara institusi dan organisasi,
namun pada sisi lain dia melihat institusilah yang berlaku sebagai wasit akhir
dari pengambilan keputusan politik.
Untuk memberikan pandangan literatur mengenai
sejarah Spanyol dan kedua klub, saya menggunakan sumber otoritatif oleh Stanley
Payne mengenai perang dunia dan kehidupan fasis di Spanyol. Dalam Fascism in
Spain: 1923-1977, Payne memberikan analisa mendalam mengenai rezim Jose Antonio
Primo de Rivera dan Jenderal Franco, yang mencakup sejarah pergerakan Falangis
(sebutan untuk pengikut partai politik Jenderal Franco).
Konteks Historis
Untuk memperoleh pemahaman lebih mengenai
peran FC Barcelona dan Real Madrid dalam lingkungan politik Spanyol, pertama
sekali kita harus menganalisa konteks historis yang melingkupi kemunculan kedua
klub. Sejatinya, tataran politik yang kita anggap sebagai Spanyol modern mulai
terbentuk sejak abad ke-16, dimana institusi Spanyol memiliki asal-muasalnya
pada Abad Pertengahan dan reformasi prinsip-prinsip Kristen yang sedang terjadi
saat itu (Payne: 1999, p.3).
Dengan kerajaan bersifat lokal dan dinasti
sebagai unit dasar peradaban barat pada era tersebut, apa yang kita kenal
sekarang sebagai Spanyol berawal dari lima kerajaan terpisah dengan konsep
kebangsaan yang menyeluruh yang dikenal dengan nama “Hispania” (Payne: 1999,
p.3). Dalam konteks inilah mulai muncul sistem regionalisme yang membentuk
karakter perpolitikan Spanyol.
Sementara monarki Bourbon menanamkan rasa
kebangsaan yang lebih besar selama tahun 1800-an dan reformasi yang
diperkenalkan oleh Charles III secara khusus menekankan sentralisasi administrasi
(Ventos: 1991, p.99), namun sejarah menunjukkan keunggulan politik terkait
sentralisasi lenyap oleh perang Spanyol-Amerika tahun 1898. Dalam istilah
Stanley Payne “trauma pasca-kolonialisme modern pertama di Eropa Barat” (1999,
p.11), angkatan laut Spanyol dihancurkan oleh Amerika Serikat dan berlanjut
pada pengkotak-kotakan wilayah colonial termasuk Kuba, Puerto Rico dan Filipina
(Hendrikson: 2003, p.52).
Musnahnya kekaisaran Spanyol di seberang laut
tampak sebagai simbol kegagalan Spanyol modern sebagai sebuah negara dan
sistem, dimana kaum elit membuka peluang proses demokratisasi yang
disebut-sebut sebagai pembuka konflik mendalam di negara Spanyol (Payne: 1987,
p.9). Payne (1987, p.7) percaya bahwa momen ini dalam sejarah modern Spanyol menyebabkan
sebuah “ketiadaan nasionalisme”, sementara Xavier de Ventos (1991, p.135) telah
menulis bahwa masyarakat Spanyol semakin dekat pada kerumitan, yang mengubah
keadaan dari dalam menuju ledakan politik.
Elemen-elemen ini dapat dilihat sebagai “pustaka
bencana” oleh pergerakan regenerasionis yang muncul di Spanyol segera setelah
kekalahan kekaisaran, dimana terbit tulisan-tulisan bermuatan politis yang
mencoba untuk memunculkan reformasi untuk memperbaiki erosi identitas kolektif
Spanyol (Payne: 1987, p.9-10). Jimmy Burns (1999, p.xv) menulis inilah masa
turbulensi politik di Spanyol antara jatuhnya satu era dan perebutan kekuasaan
oleh lainnya. Di dalam pergeseran tataran politik inilah
Real Madrid dan FC Barcelona lahir, sesuatu yang pada hal-hal tertentu
menjelaskan relevansi politis antara kedua klub yang terus terpelihara sampai
hari ini.
Dengan konsensus politik yang tak mungkin
dicapai dan setiap langkah reformasi demokrasi meningkatkan perpecahan
sosial-politik (Payne: 1999, p.11), muncul argumentasi bahwa kedua institusi
olahraga yang merepresentasikan elemen-elemen berbeda antara tradisional dan
modern, yang selanjutnya didefinisikan melalui karya “noventayochistas”,
penulis yang rajin berpikir mengenai “problem Spanyol” (Payne: 1999, p.11-12).
Yang pasti, FC Barcelona dan Real Madrid didirikan pada masa pergolakan sosial
dan politik skala besar, sehingga keadaan lingkungan pun terefleksikan dalam
identitas mereka masing-masing. Sementara Spanyol berjuang dengan
identitasnya selama tahun-tahun awal abada ke-20, Catalonia telah menjadi
wilayah yang paling berkembang di seluruh negeri, dan berdasarkan Juan Linz
(1973) yang dikutip dalam Hargreaves (2000, p.26), warga Catalan merasa
tersinggung dengan keadaan negara yang inefisien. Setelah memodernisasi sektor
politik dan ekonomi dengan relatif cepat (Hargreaves: 2000, p.26), sepakbola
telah menjadi pegangan kelas menengah Catalan dan populasi ekspatriat yang
menikmati buah dari pertumbuhan ekonomi yang signifikan (Burns: 1999, p.72).
Sejatinya, seharusnya ada kondisi ekonomi
yang menguntungkan di Barcelona pada masa itu dikarenakan klub sepakbola utama
di kota itu didirikan oleh ekspatriat liberal yang Makmur. Pria itulah yang
menggagas pendirian FC Barcelona. Dia bernama Joan Gamper (inilah nama versi
Catalonia untuk nama aslinya, Hans Kamper). Dia seorang business-man asal Swiss
yang memiliki simpati besar terhadap nasionalis Katalan. Sejarah resmi klub
menjelaskan bahwa Gamper secara penuh terintegrasi dengan Catalonia karena
kemampuannya berbicara dan menulis dalam bahasa Catalan dan meleburkan dirinya
dalam kultur wilayah setempat (FC Barcelona: 2011).
Dalam tulisannya di Morbo (2003, p.117), Phil
Ball menunjukkan bahwa Real Madrid hampir tidak memiliki asal-usul yang
sederhana, dikaitkan dengan kebangsawanan yang ada sejak awal mula. Sejatinya,
bendahara awal Foot Ball Sky adalah Conde (Count) de La Quinta de La Enrajada,
sarjana Oxford dan anggota kasta tinggi di masyarakat Spanyol. Semakin kuat
koneksi terhadap pendirian dibanding FC Barcelona, institusionalisasi sosial
Real Madrid dapat dikatakan menjadi stempel karet dengan adanya perlindungan
oleh Alfonso XIII pada 1920 (Ball: 2003, p.117).