Pada 13
September 1923, Primo de Rivera telah menguasai pemerintahan lewat sebuah
kudeta militer dan segera mendapat legitimasi dari Alfonso XIII (Payne: 1999,
p.24).
Meski gaya kepemimpinannya terlihat popular di awal, Primo de Rivera
segera menunjukkan pergeseran ke bentuk fasisme.
Dia dikenal
dengan pernyataannya, “Fasisme adalah sebuah fenomena universal yang seharusnya
menguasai seluruh bangsa” (Payne: 1999, p.28).
Pergeseran
ini mendorong semakin kuatnya sentralisasi ala Madrid (Burns: 1999, p.86-87),
dimana paham Catalanisme semakin terdesak untuk bisa menunjukkan ekspresi
sosial politiknya. Primo de Rivera menolak permohonan otonomi dari Catalonia,
yang diduga dikarenakan oleh tekanan sejumlah figur militer pada saat kudeta
(Rial: 1986, p.94).
Kaitan pertama
FC Barcelona dengan aksi politik terjadi pada Juni 1925 pada sebuah
pertandingan di lapangan Les Corts milik (Ball: 2003, p.92-93). Primo de Rivera
telah mencabut keabsahan pemerintahan lokal dan penggunaan bahasa Catalan
beberapa bulan sebelumya. Namun pertandingan itu digunakan sebagai kesempatan
politik bagi warga Barcelona.
Pada saat
jeda, band Royal Marines mempelesetkan lagu nasional Spanyol sebagai sebuah
sinyal jelas ketidaksenangan yang langsung diganjar dengan sebuah dekrit
militer dan denda terhadap klub dan pembekuan operasionalnya selama enam bulan
(Burns: 1999, p.86-87). Kejadian ini menjadi sinyal publik pertama yang
mengaitkan FC Barcelona dengan nasionalisme Catalan.
Kemunculan
paham Catalanisme pada masa itu sangat lekat dengan keberadaan FC Barcelona.
Prolog pada sejarah resmi klub mengklaim bahwa “sepanjang masa sulit tersebut,
FC Barcelona menjadi standar yang mewakili Catalonia dan keinginan penduduk
Catalan untuk kebebasan.” (FC Barcelona: 2011). Kaitan politik ini terlihat
tumbuh formal selama rezim Primo de Rivera.
Pada 1928,
menjelang akhir rezim Primo de Rivera (Payne: 1999, p.35), seorang tokoh Catalan bernama Josep Sunyol bergabung dengan dewan FC Barcelona dan menjadi
presiden Federation of Associated Catalan Football Clubs (Burns: 1999, p.96).
Pendiri surat kabar La Rambla (Burns: 1999, p.96) ini diakui sebagai tokoh
kunci yang mengkombinasikan olahraga dan paham politik Catalanisme.
La Rambla
semakin terlihat cemerlang seiring prestasi FC Barcelona, sehingga muncul
sebuah aturan sosial baru dimana “sepak bola dan politik membentuk sebuah
bagian esensial dari masyarakat demokrasi sejati.”
Setahun
setelah kejatuhan Primo de Rivera pada 1930, Sunyol terpilih menjadi anggota
parlemen baru di Madrid, sebagai anggota Esquerra Republikana de Catalunya,
yang merupakan sebuah partai sayap kiri baru di Catalan.
Dengan anggota dewan
lain memiliki asosiasi kuat terhadap partai politik besar lainnya di Catalonia,
the LLiga Regionalista, hirarki klub menunjukkan posisi politik yang semakin
jelas.
Sejatinya,
momen politis paling signifikan dalam sejarah FC Barcelona terjadi saat Josep Sunyol tewas tertembak dalam perjalanan dengan mobil berbendera Catalan
melewati pegunungan yang dikuasai oleh pasukan Falangis pada 6 Agustus 1936.
Eksekusi Sunyo diyakini oleh David Goldblatt (2006, p.302) sebagai faktor
penguat hubungan klub dengan perpolitikan berpaham Catalanisme.
Sejarah resmi klub mengklaim bila Sunyol adalah presiden martir (FC
Barcelona: 2011) dan menjadi korban utama perpolitikan klub.
Pada akhir perang
sipil, Jenderal Franco mengeluarkan sebuah pernyataan yang menyebut bahwa klub
telah menjadi pusat aktivitas politik.
“Pada suatu waktu, (Sunyol) menjadi
presiden klub sepak bola Barcelona, dan bertanggung jawab untuk sikap
anti-Spanyol yang diadopsi klub” (Burns: 1999, p.110-111).
Kematian
Sunyol telah menjadikan FC Barcelona sebuah kendaraan sosial politik hari ini.
Phil Ball (2003: p.99) menulis, “Kematian Sunyol sekarang dilihat sebagai momen
yang benar-benar mendefinisikan klub, dalam kaitannya dengan ideologi,
separatism budaya, kemerdekaan dan hak otonomi.
Ini membuktikan kemudian bahwa
Barca bukanlah sekedar klub, dan sisi sejarah ini memberikan rasa nyaman bagi
pengusung bendera klub pada masa sekarang ini.”
Pasukan
Jenderal Franco berbaris memasuki kota Barcelona pada 26 Januari 1939, dan
perang sipil segera dimulai (Goldblatt: 2006, p.303). Kejatuhan kota menurunkan
pengaruh politis FC Barcelona, dimana rezim baru menganggap bahwa klub adalah
instrumen otonomi regional yang harus didiamkan (Goldblatt: 2006, p.305).
Sejatinya, Franco hendak mempermalukan klub dengan menunjukkan nasionalisme
Catalan sebagai hal yang memilukan dan bertentangan dengan ideologi Spanyol.
Jadwal
pertama yang dimainkan di stadion Les Corts setelah selesainya perang sipil
diawali dengan perayaan penyerahan upeti kepada rezim baru, dimana pejabat
fasis hadir untuk mendeklarasikan “pengusiran setan jahat berupa roh
separatisme” dari klub (Burns: 1999, p.124).
Seperti yang
ditulis oleh Stanley Payne (1987, p.231) dalam bukunya The Franco Regime:
1936-1975, pemerintahan Franco adalah yang sangat tersentralisasi dalam sejarah
Spanyol hingga saat ini, namun memunculkan sikap “negara sendiri” bagi penduduk
Catalonia dan Basque.
Catalonia dipimpin oleh sebuah administrasi pengawasan
khusus, dimana penggunaan bahasa Catalan sangat dilarang di depan umum, tidak
boleh digunakan dalam literatur, perayaan agaman dan sistem hokum (Payne: 1987,
p.231). Sejatinya, FC Barcelona pun dipaksa untuk mengganti namanya menjadi
Castillian Barcelona Club de Futbol, sebuah nama yang dirancang untuk
menghilangkan sentiment Catalan dari klub dan secara formal memutus sejarahnya
(Burns: 1999, p.127-128).
Sementara
Franco ingin mendorong sepak bola sebagai bagian depolitisasi di wilayah
Spanyol, ada beberapa batasan yang diletakkan pada FC Barcelona (Goldblatt:
2007, p.305). Klub bisa saja memenangkan piala namun mereka dilarang untuk
mengekspresikan kemenangan. Pada zaman Franco, sepak bola diekspresikan sebagai
bentuk kekuasaan, sebuah instrumen penyatuan dan penetral bagi massa (Burns:
1999, p.134). FC Barcelona, seperti halnya organisasi lainnya, dipaksa untuk
menyesuaikan diri.
Dengan dilucuti identitas politiknya dan dibatasi
kegiatannya dalam bersaing dengan Real Madrid (Goldblatt: 2007, p.305), FC
Barcelona telah kehilangan identitas politik dan budayanya, terutama sejak
diatur oleh manajemen yang merupakan simpatisan Fasis (Burns: 1999, p.128-130).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar