Dalam menelusuri identitas ini, kita dapat merujuk pada beberapa teori.
Misalnya Nothofer dalam Sari 14 (1996;34) sebagaimana dikutif Aloy (2008;12).
Menurut Nothofer, tanah asal usul suatu keluarga dapat dibaca dari keragaman
bahasa dan isolek yang mengurainya. Hipotesisnya adalah bahwa makin lama suatu
daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba
makin tinggi tingkat keragaman isoleknya. Sebaliknya, kalau penutur suatu
isolek yang timbul beberapa abad sesusah terpisahnya suatu bahasa pura yang
meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu
ntuk timbulnya isolek yang beranekaragam ditempat yang baru itu sangat
berkurang. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa dengan menganalisis keragaman
bahasa, kita dapat menelusurinya dari asal usul penutur (manusia) yang
mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. (Aloy;2008;13).
Penyebaran manusia purba dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini
dimungkinkan, karena jaman dahulu, transportasi utama masyarakat adalah sungai.
Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di
pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka
harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut
bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3).
Dengan aliran sungai yang berhulu di bukit Bawakng dan bukit-bukit kecil
lainnya, saya menduga bahwa migrasi orang-orang dari Sarinakng kemungkinan
dilakukan secara berkelompok dan bergelombang. Alasan migrasi, umumnya karena
arus migrasi yang massif dari orang-orang yang tidak mereka kenal yang mengancam
keamanan dan penghidupan religi serta bercocok tanam (Supriyadi;2005;69).
Paling tidak ada lima kelompok kecil. Kelompok pertama menyusuri sungai
Sebangkau dan menetap di Paranyo (bhs. Melayu; pelanjau), sebagian kecil
meneruskan perjalanan hingga dimuara sungai, Pemangkat. Kelompok kedua
melakukan perjalanan dengan menyusuri sungai Bantanan, dan menetap di Tabing
Daya (17 Km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar lagi di Kuta Lama (dekat
pasar Galing sekarang). Dari Kuta Lama, ada dua kelompok kecil yang memisahkan
diri lagi dengan menyusuri Sungai Enau dan menetap di Jaranang (desa Sungai
Enau sekarang). Sebuah kelompok lagi terus menyusuri sungai ke hulu dna menetap
di Bapantang Batu Itapm (Batu Itapm sekarang). Di Batu Itapm inilah mereka lama
menetap bahkan sampai sekarang. Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar
sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati
24 kampung dengan populasi 9.558 jiwa, antara lain kampong Rukapm, Biawak,
Paon, dan lain-lain.
Kelompok lain yang bermigrasi dengan menyusuri hulu sungai selakau melalui
sungai sangokng dan menetap dibeberapa kampong yang terebar di kawasan Kota
Singkawang sekarang ini. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di
Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Monterado). Mereka
ini kemudian mengembangkan bahasa yang dikenal sebagai bahasa ba damea/ba
dameo.
Dari Sarinakng, sekelompok besar menyusuri hulu sungai selakau hingga di
daerah Lao, daerah Serukam sekarang ini. Dari Lao, sekelompok kecil lagi
bermigrasi ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya. Mereka
inilah yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’.
Sebagaimana di tempat asalnya, Sarinakng, Tabing Daya, Batu Itapm, Kuta
Lama, Jaranang, yang telah memeluk Islam, orang-orang di Pakana ini juga telah
memeluk Islam. Penelitian Owat (2005) di Pakana, menyatakan bahwa pada masa
lalu, Pakana merupakan pusat penyebaran Islam ditanah Dayak. Bukti-bukti ada
infiltrasi Islam ditempat ini masih nyata. Dari Pakana, orang-orang yang tidak
mau memeluk Islam bermigrasi lagi, menyusuri Sungai Mempawah hingga ke
Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng.
Di tinjau dari bahasa yang
dikembangkannya, ada tujuh kelompok sub suku Dayak di daerah ini: (1) Baahe
logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), (2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit),
(3) Bajare (Dayak Gado), (4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), (5) Balangin,
Bampape (Dayak Landak), (6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan (7) Bakati
(Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi
dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada
perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan
mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2,
dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe
kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak
perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan
bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik
menggunakan bahasa campuran Baahe-Badameo-Bajare.
Kondisi inilah yang menurut Atok dapat menjelaskan bahwa rumpun subsuku
ini berasal dari moyang yang sama, bangsa Austronesia di daerah Sarinakng. Saat
ini mereka mengidentifikasi diri kedalam 3 kelompok yaitu Dayak Kanayatn,
Dayak Salako dan Dayak Banyadu’/Bakati’. Untuk mempertegas kelompok ini
dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang
Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’
menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi,
makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut
penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.