Tampilkan postingan dengan label dayak kalimantan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dayak kalimantan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Desember 2014

Hilangnya Rajah (Tatto) Tubuh Dayak Ngaju

Zaman dahulu sebelum terjadinya Perjanjian Tumbang Anoi (perkiraan waktu terjadinya Rajah Tubuh mulai tidak digunakan) sebut saja masa Peralihan, bagi suku ngaju memiliki Rajah adalah hal yang biasa karena harusskan atau diwajibkan bagi anak tertua laki-laki memiliki Rajah tubuh, dilakukannya hal tersebut sebagai bentuk untuk membuktikan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka telah memenuhi hajat mamuei (janji/sumpah) yang di berikan orang tua kampung (biasanya dalam betuk harus mendapatkan kepala sebanyak yang telah di tentukan dan waktu yang telah di tentukan juga), apabila tidak dapat memenuhi hajat mamuei tersebut maka sang anak tidak dapat kembali ke kampung asalnya.

Rapat Damai Tumbang Anoi

Jika di lihat dari para tetua yang menjadi generasi atau berkelahiran tahun 80-an ke-atas akan sangat jelas terlihat bekas rajah pada kulit mereka, sebab pada masa itulah masa “Peralihan” itu terjadi, dan apabila masih ada generasi berikutnya yang memiliki Rajah tersebut dapat menyebabkan Hukum Adat yang telah di sepakati bersama seluruh Kalimantan (Borneo), maka jenis dan cara mangayau mulai berubah bentuk tujuan. 
Adapun alasan yang menyebabkan wilayah lainnya masih mengunakan Rajah tubuh (menurut analisa) mungkin disebabkan: Jarak yang jauh dari Tempat terjadinya Kesepakatan Bersama dalam arti tidak mengetahui adanya kesepakatan sehingga kesalahan yang dilakukan seolah-olah sengaja dilakukan untuk mengacaukan isi rapat yang telah ditetapkan.

Rekonstruksi Identitas Dayak Kanayatn

Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.
Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar.
Sebagaimana identitas Dayak yang pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea, ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang, sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld, seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di Singkawang.
Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua.
Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).
Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985), sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina (mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).
Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini, kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang (Takdir;2003).
Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo, 1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia  (Simon;2003)
Ciri lain dari warisan budaya nenek moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, dengan cara dibakar. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India”
Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).
Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng, Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun 1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas. Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan menetap dikawasan itu.
Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”. Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng (bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai.
Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut Salako.

Sumber: Malahoi Desaku

Migran Dari Sarinakng

Dalam menelusuri identitas ini, kita dapat merujuk pada beberapa teori. Misalnya Nothofer dalam Sari 14 (1996;34) sebagaimana dikutif Aloy (2008;12). Menurut Nothofer, tanah asal usul suatu keluarga dapat dibaca dari keragaman bahasa dan isolek yang mengurainya. Hipotesisnya adalah bahwa makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba makin tinggi tingkat keragaman isoleknya. Sebaliknya, kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad sesusah terpisahnya suatu bahasa pura yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu ntuk timbulnya isolek yang beranekaragam ditempat yang baru itu sangat berkurang. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa dengan menganalisis keragaman bahasa, kita dapat menelusurinya dari asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. (Aloy;2008;13).
Penyebaran manusia purba dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini dimungkinkan, karena jaman dahulu, transportasi utama masyarakat adalah sungai. Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3).

Dengan aliran sungai yang berhulu di bukit Bawakng dan bukit-bukit kecil lainnya, saya menduga bahwa migrasi orang-orang dari Sarinakng kemungkinan dilakukan secara berkelompok dan bergelombang. Alasan migrasi, umumnya karena arus migrasi yang massif dari orang-orang yang tidak mereka kenal yang mengancam keamanan dan penghidupan religi serta bercocok tanam (Supriyadi;2005;69).

Paling tidak ada lima kelompok kecil. Kelompok pertama menyusuri sungai Sebangkau dan menetap di Paranyo (bhs. Melayu; pelanjau), sebagian kecil meneruskan perjalanan hingga dimuara sungai, Pemangkat. Kelompok kedua melakukan perjalanan dengan menyusuri sungai Bantanan, dan menetap di Tabing Daya (17 Km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar lagi di Kuta Lama (dekat pasar Galing sekarang). Dari Kuta Lama, ada dua kelompok kecil yang memisahkan diri lagi dengan menyusuri Sungai Enau dan menetap di Jaranang (desa Sungai Enau sekarang). Sebuah kelompok lagi terus menyusuri sungai ke hulu dna menetap di Bapantang Batu Itapm (Batu Itapm sekarang). Di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang. Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9.558 jiwa, antara lain kampong Rukapm, Biawak, Paon, dan lain-lain.
Kelompok lain yang bermigrasi dengan menyusuri hulu sungai selakau melalui sungai sangokng dan menetap dibeberapa kampong yang terebar di kawasan Kota Singkawang sekarang ini. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Monterado). Mereka ini kemudian mengembangkan bahasa yang dikenal sebagai bahasa ba damea/ba dameo.
Dari Sarinakng, sekelompok besar menyusuri hulu sungai selakau hingga di daerah Lao, daerah Serukam sekarang ini. Dari Lao, sekelompok kecil lagi bermigrasi ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya. Mereka inilah yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’.
Sebagaimana di tempat asalnya, Sarinakng, Tabing Daya, Batu Itapm, Kuta Lama, Jaranang, yang telah memeluk Islam, orang-orang di Pakana ini juga telah memeluk Islam. Penelitian Owat (2005) di Pakana, menyatakan bahwa pada masa lalu, Pakana merupakan pusat penyebaran Islam ditanah Dayak. Bukti-bukti ada infiltrasi Islam ditempat ini masih nyata. Dari Pakana, orang-orang yang tidak mau memeluk Islam bermigrasi lagi, menyusuri Sungai Mempawah hingga ke Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng.
Di tinjau dari bahasa yang dikembangkannya, ada tujuh kelompok sub suku Dayak di daerah ini: (1) Baahe logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), (2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit), (3) Bajare (Dayak Gado), (4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), (5) Balangin, Bampape (Dayak Landak), (6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan (7) Bakati (Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2, dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa campuran Baahe-Badameo-Bajare.
Kondisi inilah yang menurut Atok dapat menjelaskan bahwa rumpun subsuku ini berasal dari moyang yang sama, bangsa Austronesia di daerah Sarinakng. Saat ini mereka mengidentifikasi diri kedalam 3 kelompok yaitu Dayak Kanayatn, Dayak Salako dan Dayak Banyadu’/Bakati’. Untuk mempertegas kelompok ini dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’ menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi, makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.

Sabtu, 20 Desember 2014

Siapakah Dayak?

Bagi orang non-kalimantan termasuk orang non-Indonesia, ketertarikan terhadap Kalimantan terutama disebabkan oleh eksotisme komunitas Dayak yang dipopulerkan dalam buku-buku perjalanan dan film-film lama:
"tentang kepercayaan animisme-nya, tentang rumah panjangnya, tentang upacara-upacara kematiannya, tentang tato dan telinga panjangnya, tentang tarian perangnya, dan tentang pengayauannya".

Dayak yang tergolong dalam rumpun Austronesia. Asal-usulnya yang sama dari wilayah Cina Selatan, yang sekitar 7000 tahun lalu telah memiliki budaya bercocok tanam. Jalur penyebarannya hingga ke Kalimantan dimungkinkan ada dua jalur, jalur timur dan jalur barat. Jalur timur dimulai dari daratan Cina menuju pulau Taiwan, lalu ke Filipina dan kemudian masuk ke Kalimantan. Migrasi dimulai sekitar 7000 tahun lalu ketika sekelompok orang mulai berlayar dari daratan Cina ke pulau Taiwan. Kemudian, 5000-6000 tahun yang lalu, dari Taiwan mereka mulai menyebar memasuki Filipina, dan sekitar 4000 tahun lalu mulai memasuki Kalimantan, dalam kedatangan bergelombang. Jalur barat dimulai dari daratan Cina menuju Vietnam, semenanjung Malaka, masuk ke pulau-pulau di Indonesia dan lalu  masuk ke Kalimantan.


Penyebaran jalur barat dikonfirmasi studi genetik yang menunjukkan bahwa jejak genetik dari daratan Asia Tenggara dan pulau utama di Indonesia lebih kuat daripada jejak genetik yang langsung berasal dari Taiwan. Setelah di pulau Kalimantan, kelompok Austronesian itu mengalahkan komunitas pemburu dan peramu yang disebut Austroloid, yang lebih dulu menghuni Kalimantan, dan kemudian menyebar ke seantero pulau membentuk ratusan kelompok berbeda dengan bahasa, organisasi sosial dan budaya yang agak berlainan. Suatu pendapat menyatakan bahwa ketika Hindu dan kemudian Islam mulai masuk, istilah Dayak diperkenalkan sebagai sebutan bagi mereka yang belum memeluk Hindu, atau kemudian belum memeluk Islam. Setelah tahun 1600-an, mereka yang kemudian memeluk Islam menjadi Kutai di Kalimantan bagian timur khususnya di sepanjang daerah aliran sungai Mahakam, atau Banjar di Kalimantan bagian selatan khususnya di daerah aliran sungai Barito,  atau Melayu di Kalimantan bagian barat khususnya di daerah aliran sungai Kapuas.

Komunitas yang saat ini disebut Dayak mencakup ratusan komunitas dengan budaya, organisasi sosial dan bahasa yang berlainan. Sesat jika mengira Dayak adalah sebuah etnis tunggal yang memiliki keseragaman bahasa dan budaya sebagaimana sebuah etnis seharusnya. Meskipun sama-sama mengaku sebagai dayak, apabila berasal dari daerah yang berbeda (letak kabupaten atau kecamatan atau desa), karena daerah tempat tinggal berbeda, seperti yang kita tahu, bahasa yang dimilikipun juga pasti berbeda.

Para etnografer kesulitan untuk bisa mengidentifikasi secara tegas kelompok etnik yang secara umum disebut Dayak. Sebab, dua komunitas Dayak bisa memiliki bahasa yang agak mirip namun memiliki budaya yang berlainan, atau memiliki budaya yang mirip namun bahasanya sangat berbeda. Jadi sangat sulit mengidentifikasi dan menghitungnya. Oleh sebab itu, para etnografer biasanya mengabaikannya dan hanya berusaha mengidentifikasi kelompok besarnya saja. Bernard Sellato, seorang ahli Dayak terkemuka, membedakan komunitas-komunitas Dayak di pulau Kalimantan ke dalam tujuh kelompok besar, yakni Iban, kelompok Barito, Kayan-Kenyah-Modang, kelompok Nulang Arch, Maloh dan Bidayuh.

Iban. Orang Iban merupakan kelompok etnik utama, yang tersebar di Sarawak, Malaysia, dan dalam jumlah kecil di Kalimantan Barat, Indonesia. Beberapa kelompok terkait dengan Iban adalah Kantu, Seberuang, Mualang, dan Desa. Diperkirakan,  jumlahnya di Sarawak  mencapai lebih dari 600 ribu jiwa dan di Kalimantan Barat  jumlahnya sekitar 15 ribu jiwa. Komunitas Iban termasuk kelompok yang dikenal sering berperang. Tercatat beberapa kali mereka melakukan penyerangan ke komunitas-komunitas Dayak lainnya.

Kayan-Kenyah-Modang. Kelompok ini menempati wilayah luas di wilayah tengan pulau Kalimantan, mulai dari wilayah Apo Kayan di Kalimantan Timur,  Rejang dan Baram di Sarawak, Malaysia, Hulu Kapuas di Kalimantan Barat, hingga Mahakam di Kalimantan Timur. Organisasi sosialnya terbagi tiga, yakni kelompok aristokrat, kelompok orang biasa dan kelompok budak. Diduga, kelompok ini merupakan kelompok Dayak yang paling belakangan tiba di pulau Kalimantan, yakni sekitar abad-abad pertama sampai kelima masehi. Mereka dikenal sebagai penakluk komunitas lainnya. Budaya mengayau yang menjadikan Dayak populer di dunia, merupakan tradisi mereka.

Bidayuh. Kelompok Bidayuh sebelumnya dikenal sebagai Dayak Darat yang merupakan kelompok heterogen yang tinggal di daerah aliran sungai Kapuas dan di barat-selatan Sarawak, Malaysia. Dipercaya, mereka merupakan salah satu kelompok Dayak tertua yang tiba di Kalimantan. Yang unik dari kelompok ini adalah pembangunan rumah tetua yang diperuntukkan sebagai pusat aktivitas para pria dan untuk melakukan berbagai ritual. Berbeda dengan kelompok Iban dan kelompok Kayan-Kenyah-Modang, kelompok Bidayuh dikenal sebagai kelompok yang menghindari konflik.

Dayak Kenyah di Mahakam (Batu Majang, Mahakam Hulu, Kalimantan Timur)
Maloh. Kelompok Maloh tinggal di hulu sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Kelompok Maloh atau dalam literatur lain kadang disebut kelompok Taman, memiliki struktur sosial yang terstratifikasi ketat. Sub utama kelompok ini ada tiga, yaitu Taman, Embaloh, dan Kalis.

Kelompok Barito. Secara tradisional, kelompok Barito menghuni wilayah tengah pulau Kalimantan. Termasuk di dalamnya adalah Dayak Ngaju yang tinggal di tengah dan barat Kalimantan tengah; Dayak Ot Danum yang tinggal lebih ke hulu; Dayak Siang dan Murung di hulu sungai Barito; Dayak Luangan dan Manyan di Barito Tengah; dan Dayak Benuaq, Bentian dan Tunjung di Mahakam Tengah.  Kekhasan kelompok ini adalah ritual pemakaman yang memerlukan dua kali perlakuan terhadap tubuh orang yang mati, yang dimungkinkan terkait dengan pusat Hindu kuno di wilayah selatan-timur Kalimantan.

Kelompok Nulang Arc. Sekelompok kecil komunitas di Sarawak dan perbatasan dengan Indonesia, seperti Kajang, Melanau, Berawan, Lun Dayeh, Lun Bawang, dan Kelabit dimasukkan dalam kelompok khusus Nulang Arc karena seperti kelompok Barito, mereka juga mempraktekkan ritus penguburan kedua bagi orang mati, dan mereka memiliki kesamaan historis dan budaya yang mirip. Hanya saja, mereka memiliki organisasi sosial dan ekonomi berlainan.

Upacara Baliatn, Dayak Benuaq, Kabupaten Kutai Barat
Selain tujuh kelompok di atas yang umumnya mengusahakan suatu pertanian padi, kebanyakan dilakukan di lahan sementara hasil tebang-bakar, dengan abu hasil pembakaran sebagai pupuknya (swidden agriculture atau ladang berpindah), ada satu kelompok lagi yang hingga baru-baru ini masih memiliki kehidupan nomadik (terus berpindah dan tidak memiliki pemukiman tetap) dan ekonomi subsisten tergantung pada perburuan dan meramu, yakni Punan. Mereka tersebar khususnya di pegunungan Schwaner-Muller, di daerah paling hulu sungai-sungai besar di pulau Kalimantan.

Sejarah yang Tidak Dipublikasikan

Bicara soal agama ya memang susah. Susahnya adalah bahwa kita semua beda agama dan beda kepercayaan, namun yang unik adalah beda agama namun satu kepercayaan, nah apa itu? ya budaya.
Jawabannya agama budaya. Kebetulan saya suku Dayak Kanayatn dan saya sudah beragama Katolik sejak lahir. Budaya Dayak ada dalam sanubari saya dan saya mencintainya karena tidak mungkin saya harus pensiun jadi orang Dayak dan pindah suku, sebab Tuhan sudah menaruh saya sebagai suku Dayak tentu ada maksudnya. Dalam agama saya yang Katolik itu, saya pun hidup dalam budaya Dayak yang juga mengimani Tuhan penguasa semesta alam. Yang saya tahu dalam budaya Dayak yang diajarkan adalah budi pekerti, kebaikan antara Penompa, Jubata, Duwata dsb dengan manusia. Manusia harus menghormati alam ciptaannya sehingga selangkah apapun orang Dayak harus minta ijin terlebih dahulu kepada Tuhan melalui alam, misalnya membuat ladang, mereka harus ijin dan memberikan persemebahan serta doa-doa dalam bahasa nyangahatn (lantunan syair doa dalam bahasa halus) meminta Tuhan memberikan berkat Nya. Yang perlu kita ketahui adalah media agama/kepercayaan yang kita gunakan dalam mengenal Tuhan ternyata tidak sama satu dengan lainnya, nah itu yang patut kita hargai.

Yakinlah jika dia seorang Dayak yang beragama Islam maka dia memiliki kepercayaan yang sama dengan seorang Dayak yang beragama Kristen yakni sama-sama percaya bahwa ajaran agama kepercayaan dari agama adat budayanya itulah yang mengallir dalam sanubarinya dan itu pulalah yang membuat setiap orang menjadi satu dalam keluarga besar Dayak dimana ketika menyatu dalam Dayak tidak ada istilah Islam, Krosten, Hindu, Budha dan sebagainya semua mereka menyatu dalam kepercayaan yang sama yakni budaya Dayak yang mengajarkan banyak budi pekerti. Perlu diketahui pula bahwa sebelum Hindu muncul di Indonesia, orang Dayak telah lebih dahulu beragama asli yang kemudian bermutasi menjadi Hindu di Kutai sementara suku-suku lainnya di Indonesia belum beragama Hindu termasuk Jawa yang termasyur itu. Artinya penyebaran Hindu setelah di Kalimantan tentulah salah satunya ke Jawa melalui hubungan Kutai dengan wilayah-wilayah lainnya di nusantara.

Sangat tidak masuk diakal jika Kutai sebuah kerajaan tertua di nusantara dengan masa jayanya yang berabad-abad tidak mempengaruhi wilayah lainnya di nusantara? Pasti Jawa, Sumatera, Sulawesi juga mendapat pengaruh besar dari Kutai kerajaan Hindu Dayak tertua di nusantara. Saya agak heran, kata “Dayak” dalam menyebutkan kerajaan Kutai hampir tidak terdengar, apa sengaja dihilangkan agar terkesan bahwa Kutai bukan kerajaan Dayak. Tugas kita semua untuk menyebarkan bahwa Kutai pertama adalah Kutai Dayak yang beragama Hindu. Artinya Dayak memiliki pengaruh besar di Indonesia dan menyumbangkan pemikiran serta sejarah yang tak ternilai harganya. Saya bangga menjadi orang Dayak sebab sejarah membuktikan bahwa Kerajaan tertua ada di Kalimantan dengan rajanya yang bernama Kudungga seorang Dayak asli Kalimantan yang telah beragama Hindu. Kejayaan Dayak tersebut kemudian direbut paksa oleh Kertanegara melalui siasat dan kemudian Kutai Dayak jatuh dan berubah nama menjadi Kutai Kertanegara.

Walaupun kalah, sejarah telah melukiskan bahwa pemilik pertama kerajaan Kutai adalah orang Dayak asli. Ini yang saya sangat banggakan. Jadi mari kita mengangkat dan mencari tahu tentang diri kita sendiri. Sejarah kita telah banyak dimanipulasi Jakarta dan orang-orang yang tidak ingin mengungkapkan tentang Dayak si pemilik syah Kerajaan Kutai itu. Mereka sengaja menyembunyikannya dari kita agar anak cucu kita tidak mengetahui lagi sejarah sesungguhnya. Mari Dayak bersatulah, sebab engkau pernah memiliki Raja dan yang pertama di nusantara ini. Engkau telah mengajari Jawa dan Sumatera untuk mendirikan kerajaan-kerajaan baru yang kemudian menjadi kerajaan yang ternama.


Jumat, 31 Oktober 2014

Sejarah Awal Suku dayak Di Indonesia

Suku dayak,adalah suku yang sangat fenomenal yang ada di negara Indonesia, karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.

Asal Mula Adanya Suku Dayak
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).