Tampilkan postingan dengan label El Clasico. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label El Clasico. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Januari 2015

Sejarah Pendiri FC Barcelona

Joan Gamper (22-11-1877 sampai 30-07-1930)
Sebelumnya dikenal sebagai Hans-Max Gamper, Joan Gamper adalah seorang pelopor sepakbola Swiss, klub sepakbola yang sudah didirikan oleh Joan gamper antara lain FC Basel , FC Zurich dan FC Barcelona.
Pada tahun 1898, Joan Gamper pergi ke kota Barcelona untuk mengunjungi pamannya (Emili Gaissert), yang tinggal di Barcelona.
Sebagai seorang akuntan, Gamper menemukan sebuah pekerjaan di Perusahaan Kereta Api sebagai kolumnis olahraga dan bekerja untuk dua surat kabar Swiss. Gamper bergabung dengan Gereja Injili Swiss lokal dan mulai bermain sepakbola di dalam masyarakat Protestan lokal di distrik Sarrià-Sant Gervasi. Selain itu Joan Gamper juga membantu menerbitkan sebuah majalah, Los Deportes.
Pada tanggal 22 Oktober 1899 Gamper menempatkan iklan di Los Deportes menyatakan keinginannya untuk membentuk sebuah klub sepak bola. Sebuah respon positif yang menghasilkan sebuah pertemuan di Sole Gimnasio pada tanggal 29 dan lahirlah Futball Club Barcelona. Para pendiri termasuk penggemar yang berasal dari Swiss, Inggris dan Spanyol, tidak mengetahui jika Gamper memilih warna untuk Blaugrana seperti FC Basel.
Meskipun Gamper yang membentuk FC Barcelona, Gamper lebih memilih hanya untuk menjadi anggota dewan dan kapten klub. Gamper bermain 51 pertandingan untuk FC Barcelona pada tahun 1899 sampai dengan 1903, mencetak 120 gol. rekan satu tim nya pada waktu itu termasuk Arthur Witty. Pada tahun 1900-1901 Gamper salah satu pemain yang memenangkan piala pertama untuk FC Barcelona, Macaya Copa.
Kompetisi ini sekarang diakui sebagai kejuaraan pertama di Catalan. Pada tahun 1902 Gamper bermain di final Copa del Rey, FC Barcelona kalah 2-1 untuk Club Vizcaya. Pada tahun 1905, klub tidak memenangkan satu pialapun, dan membuat klub kekurangan Dana, dan kekurangan dana, yang berdampak mempengaruhi penampilan klub baik didalam lapangan maupun diluar lapangan. Pada tahun 1908 (1908-09, 1910-13, 1917-19, 1921-23 dan 1924-25).
Untuk pertama kalinya Gamper mengambil alih kepresidenan klub. Salah satu prestasi utamanya adalah untuk membantu Barca mendapatkan stadion sendiri.Sampai 1909 tim bermain di berbagai lahan, karena klub tidak memiliki lahan yang cukup untuk membangun sebuah lapangan. Selama masa kepemimpinannya, Gamper mengumpulkan dana dari bisnis lokal. Pada tanggal 14 Maret 1909, mereka pindah ke Carrer Industria, sebuah stadion dengan kapasitas 6.000. Ia juga meluncurkan kampanye untuk merekrut anggota klub lebih banyak. Pada tahun 1917 gamper merekrut Paulino Alcantara, yang ditunjuk langsung oleh  Jack greenwell yang menjabat sebagai manager Klub.
Selain Alcantara tim  Greenwall juga menyertakan Sagi barba, Ricardo Zamora, Josep Samitier, Félix Sesúmaga dan Franz Platko. Pada Tahun  1922, Barcelona telah pindah dan bermain di Les Corts Stadium yang berkapasitas 30.000.
Selama era Gamper, FC Barcelona memenangkan 11 Championat de Catalunya, 6 Copa del Rey dan 4 Coupe de Pyrénées.
Namun, pada 24 Juni 1925, para fans mencemooh lagu kebangsaan sebagai pesan kepada kediktatoran Miguel Primo de Rivera. Dalam kasus ini, anda tidak tahu bagaimana kediktatoran bekerja: Stadion ditutup selama enam bulan, dan Joan Gamper harus mengundurkan diri sebagai presiden klub, tidak pernah kembali ke posisi lagi.
Ironisnya, pada tahun 1929, ketika gamper sudah tidak berperan dalam klub, klub menjadi profesional dan memenangkan La Liga untuk pertama kalinya. Pada tahun 1930, Joan gamper terlibat dalam depresi berat karena krisis pribadi dan keuangan, akhirnya dia bunuh diri.
Barcelona juga menderita akibat dari efek (Wall Street Crash 1929), dan ekonomi sangat tidak stabil. The Second Spanish Republic, dipimpin oleh diktator Francisco Franco, membuat konflik politik menaungi kegiatan olahraga di Spanyol.
Sifat pembangkang Barcelona membuat beberapa pemain berhenti bermain sepak bola dan berperang melawan militer Franco ketika Perang Saudara Spanyol dimulai pada 1936.
Dan ini adalah awal dari sejarah yang sangat suram dalam sejarah Barca 

Permusuhan dua Kota besar di Spanyol

Permusuhan antara Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa Franco. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Warna biru dan merah marun Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami dari warna merah dan kuning (bendera) Catalonia. Franco kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suñol, selaku Presiden Barcelona waktu itu dibunuh oleh pihak militer pada tahun 1936, dan sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938.
Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona “diinstruksikan” (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid.
Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu membuat Franco kesal. Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan “pengaturan pertandingan” dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang, Menyerang dan Menyerang !!!
Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan. Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!). Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat Manchester United.
Permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih “sehat”. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya. Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah “perang”, bukan sekedar pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan serdadu perang, bukan sebuah kesebelasan sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: “Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi jangan sampai kalah dari Real Madrid !”
Salah satu bentuk perang di luar lapangan adalah Transfer pemain. Dalam hal ini, perpindahan pemain dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatan.

Kamis, 18 Desember 2014

Kesimpulan Sejarah Real Madrid & Sejarah Barcelona

Setelah menilai argumen yang mendukung dan menolak sebutan organisasi politik dalam kaitan literatur akademik bagi Real Madrid dan FC Barcelona, saya percaya bahwa ada beberapa hal yang bisa dijelaskan lebih baik mengenai keduanya.

Dalam kasus FC Barcelona, saya menyimpulkan bahwa kehidupan politik klub tidak sejalan sebagai sebuah institusi politik, terutama ketika kita mempertimbangkan bahwa pandangan politik dan aktivitas klub sepanjang abad kedua puluh tidak sejalan dengan pemerintahan. Kaitan dengan politik Catalan sepanjang sejarah klub jelas terlihat dimana Josep Sunyol berambisi untuk membawa nasionalisme Catalan dan perjuangan melawan sentralisasi (Burns: 1998, p.100-101).

Sementara asosiasi klub dengan politik Catalan masih kuat dimana presiden klub sebelumnya Joan Laporta menjadi anggota parlemen Catalan mewakili Solidaritat Catalana per la Independencia, saya tidak yakin ada kaitan politik yang kuat atau tertanam untuk bisa menyebutkan FC Barcelona sebagai sebuah institusi politik.

Sejatinya, dengan prinsip pendirian “apolitis namun selalu siap membela hak-hak asasi warga Catalan” (Burns: 1998, p.100), komentar terakhir saya soal FC Barcelona adalah ini merupakan organisasi olahraga pertama dan terkemuka yang pernah digunakan sebagai kendaraan bagi kepentingan politik berideologi Catalanisme. Namun dibanding menjadi perpanjangan tangan partai politik Catalan, saya percaya bukti-bukti lebih menunjukan FC Barcelona sebagai perjuangan pembebasan yang sangat esensial bagi warganya.

Sementara Real Madrid lebih terlihat memenuhi syarat sebagai sebuah institusi politik, karena klub terkait dengan elemen pemerintahan yang sifatnya formal. Bentuknya berupa penggunaan fasilitas klub oleh pergerakan sosialis Spanyol (Goldblatt: 2007, p.302) dan kaitan erat dengan rezim Franco dan ideologi fasis.

Bukti menunjukkan rezim Franco menggunakan kesuksesan Real Madrid sebagai alat iklan fasisme Spanyol. Klub hampir selalu digunakan sebagai mesin propaganda oleh rezim, sementara di sisi lain pemain dan manajemen klub selalu dipuji Franco.

Debat tingkat keterlibatan politik Real Madrid dan FC Barcelona terus diwariskan dimana penggemar dan sejarawan dari kedua belah pihak terpisah dalam dua kubu yang berbeda, republikan dan fasis, namun kesimpulan final saya adalah seluruh isu ini telah jauh dari sederhana dari sebelumnya. Seperti yang dituliskan Phil Ball (2002, p.86), meskipun FC Barcelona telah diasosiasikan dengan nilai-nilai kepahlawanan Republikan dan Real Madrid dengan nilai-nilai fasisme, citra ini tidaklah murni, isu yang aktual sebenarnya menjadi kurang jelas karena adanya pengaruh media selama beberapa dekade.

Meskipun beragam elemen kedua klub dengan pengertian akademik atas institusi politik, saya percaya bahwa deduksi yang masuk akal adalah kedua klub lebih condong sebagai organisasi (dan bukan institusi) yang menjalankan model demokratis dengan agenda-agenda politik yang diproyeksikan terhadap mereka oleh sekelompok kecil pihak-pihak yang berkepentingan. Saya tetap tidak percaya bahwa salah satu dari Real Madrid atau FC Barcelona dapat dipandang sebagai institusi politik dalam konteks akademis.

Jumat, 31 Oktober 2014

El-Clasico - Sejarah Sosial Politik Spanyol

Untuk memenuhi syarat otentisitas, saya menyatakan bahwa yang tertulis di bawah ini adalah resume yang saya buatkan atas disertasi orang lain mengenai peran FC Barcelona dan Real Madrid dalam sejarah sosial politik Spanyol.
Setelah membacanya, saya berpikir bahwa substansi isinya dapat mencerahkan pemahaman kita mengapa El-Clasico selalu ditunggu-tunggu dengan bermacam-macam simbol yang ditampilkan di dalam dan luar lapangan. Akhirnya, semoga pertandingan pagi hari nanti berlangsung menarik dan penuh aksi memukau. Salam kompak untuk para Barcelonistas dan jabat tangan saya khusus untuk para Madridistas.
.
Perkenalan
Olahraga dan politik, sering disebutkan sebaiknya tidak bercampur. Bagaimanapun, sekeras apapun usaha kita memisahkannya, pemerintahan dan fenomena sosial-kultural mungkin telah secara rutin melanggar wilayah lainnnya sepanjang sejarah (Allison: 1986, p.12). Tak perlu kemana-mana, ini telah semakin jelas di abad terakhir dalam sepakbola Spanyol, permainan di Semenanjung Iberia telah terlihat sebagai perpanjangan tangan dari skenario politik domestik dan internasional (Crolley & Hand: 2006, p.114).
Sebagai sebuah area yang secara relatif masih sedikit mengambil porsi penelitian ilmu sosial, disertasi ini akan memberikan evaluasi unik terhadap sejauh mana politisasi dua klub paling kaya dan paling besar dukungannya di Spanyol (BBC: 2010), Real Madrid CF dan FC Barcelona.
Sejumlah pernyataan penting telah sering diajukan terhadap politisasi oleh kedua klub, tetapi klaim tersebut tidak pernah dianalisa dari sisi akademis secara mendalam. Disertasi ini, melalui studi atas momen-momen politis kunci dalam sejarah Spanyol dan referensi konstan terhadap nilai akademis yang melingkupi topik organisasi dan institusi politis, akan membedah klaim tersebut dan menguji tiga pertanyaan utama yang saya harap dapat mencapai sekumpulan kesimpulan yang jelas.
Pertanyaan pertama adalah apa sebenarnya rupa dari sebuah institusi politis. Saya akan melihat sejumlah pemikiran-perilaku, teori pilihan rasional, institusionalisme, pendekatan kualitatif dan kuantitatif dan menilai apakah ada atau tidak cakupan meluas atas definisi konvensional untuk mengarahkan aksi dari organisasi yang secara tradisional bukanlah dianggap sebagai “pemerintah”.
Pertanyaan kedua melibatkan dikotomi antara institusi politis dan organisasi politis. Sementara institusi politis lebih dilihat sebagai badan administratif formal, organisasi cenderung melibatkan diri dalam proses politis dibanding membentuk proses-proses tersebut, memberikan kesempatan bagi warga negara untuk mempengaruhi mereka yang memerintah (Hague & Harrop: 1982, p.165).
Pertanyaan terakhir adalah untuk menguji apakah terjadinya keselarasan politis pada klub-klub tersebut memang berasal dari klub itu sendiri atau sebagai sebuah proyeksi oleh pihak yang berkepentingan untuk menjadikan mereka kendaraan yang nyaman dan kuat untuk pandangan politis mereka.

Tujuan dan Metode
Tujuan utama saya adalah untuk menganalisa sejarah Real Madrid dan FC Barcelona berdasarkan konteks sosial-politis masa itu dan akhirnya mencapai sebuah kesimpulan mengenai seberapa aktif pengaruh politis kedua klub sepanjang abad yang lalu. Fokus utama analisa ini adalah untuk menguji apakah aktivitas politik keduanya memenuhi definisi institusi politik dari kajian akademis.
Tentunya, untuk mencapai tujuan ini memerlukan metodologi valid sebagai sebuah struktur yang memungkinkan temuan-temuan dapat diaplikasikan. Metodologi saya lebih bersifat kualitatif, eksploratif dan kearsipan. Sumber-sumber utama dalam analisa ini akan berasal dari kombinasi teori oleh beberapa ilmuwan, seperti Arend Lijphart, Jennifer Gandhi dan Douglass North, untuk menambah studi sejarah historis kedua klub dan sejumlah material akademik mengenai politik dan budaya Spanyol abad ke-20.
Sejatinya, sepanjang disertasi ini saya akan juga mengevaluasi beberapa publikasi utama yang ditulis mengenai hubungan kedua klub terhadap sistem politik, kolom-kolom para jurnalis seperti Phil Ball dan Jimmy Burns yang membentuk bank untuk material historis. Apabila relevan, saya akan juga menggunakan laporan resmi UEFA dan survei mengenai struktur kepemilikan kedua klub, analisa data yang mereka masukkan untuk menambah elemen penyeimbang analisa kuantitatif dan primer ke dalam penelitian kualitatif yang sebelumnya banyak didominasi sumber-sumber sekunder.

Tinjauan Pustaka.
Definisi dasar sebuah institusi adalah sebuah organisasi dengan sebuah status publik yang anggota-anggotanya berinteraksi atas dasar peran spesifik di dalamnya. Di dalam lingkungan politik, institusi mengacu kepada sebuah organ pemerintah yang didasarkan pada konstitusi (Hague & Harrop: 1982, p.82), meskipun masih ada sejumlah debat akademis mengenai seberapa jauh definisi ini dapat dikecualikan.
Dapat dikatakan bahwa ilmuwan modern paling penting mengenai institusi politik, ilmuwan sosial Belanda bernama Arend Lijphart, telah menjadi sentral pengembangan pemikirian institusi dan aplikasi-aplikasi yang berbeda di bawah rezim yang beragam.
Untuk perbandingan metodologi, Lijphart mendasarkan kerangka atas referensi dan temuannya dalam bukunya 1977, Democracy in Plural Societies: A Comparative Explanation. Mengakui kesulitan pemerintah dalam memelihara sistem pemerintahan yang stabil dalam masyarakat yang plural dan memisahkan diri, Lijphart (1977, p.1) fokus pada negara demokrasi, namun analisanya hanya relevan ke Spanyol pasca Franco sebagai cerminan teori mengenai kinerja Real Madrid dan FC Barcelona.
Lijphart juga menawarkan kritik atas teori “keanggotaan tumpang tindih (overlapping memberships) yang dikemukakan oleh Arthur F. Bentley dan David B. Truman, dimana ketika individu menjadi anggota beberapa kelompok yang terorganisasi ataupun tidak, pandangannya akan menjadi moderat (Lijphart: 1977, p.10). Lijphart mengacu pada keadaan dimana keragaman keanggotaan menghadapkan orang-orang pada tekanan politik lintas kepentingan dan hasilnya mereka mengadopsi posisi “di tengah jalan (middle-of-the-road)” (1977, p.10-11), namun dengan Real Madrid dan FC Barcelona dimiliki oleh anggota mereka dan diasosiasikan dengan beragam pandangan politik, saya yakin anggapan tersebut akan ditantang oleh penelitian ini.
Dalam bukunya Political Institutions under Dictatorship, Jennifer Gandhi secara khusus berfokus pada peran institusi politik dalam rezim non-demokratis, menilai strategi para diktator yang secara tradisional digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Secara jelas, dengan proporsi yang besar pada abad ke-20 telah melihat Spanyol diperintah oleh kepemimpinan otoritarian, penelitiannya sangat relevan terhadap penelitian dalam subjek ini.
Gandhi menyatakan bahwa institusi yang biasanya melayani untuk memudahkan tugas memerintah dari diktator merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang sering menekan permintaan oposisi (2008, p.79). Sejatinya, ini adalah proses kooptasi, dimana institusi menjadi sebuah kunci konsesi dan persuasi ketika aksi demikian dibutuhkan (2008, p.109). Walaupun sangat sedikit penelitian Gandhi berfokus pada kekuasaan eksplisit Franco di Spanyol, dia mengakui pertumbuhan ekonomi yang dinikmati negara tersebut pada masa kediktatoran fasisnya, dimana pendapatan per kapita melonjak delapan kali lipat pada tahun 1975 dibanding pada saat selesainya Perang Dunia II (2008, p.139).
Berangkat dari karya Lijphart dan Gandhi, ekonom dan sejarawan terkemuka Amerika Douglass North memberikan poin yang tak mengherankan bahwa sebuah institusi politik dari pijakan tunggal ekonomi, yang menawarkan deskripsi komprehensif atas apa yang ia yakini sebagai karakteristik yang seharusnya. North (1990, p.3) menyatakan bahwa institusi adalah “aturan main (rules of the game)” dalam masyarakat, sebuah instrumen yang membentuk interaksi manusia.
Dengan melihat institusi politik sebagai fasilitator struktural dalam kehidupan sehari-hari kita (1990, p.3), North menarik dikotomi yang jelas antara “institusi” dan “organisasi”. Dia menyebutkan organisasi sebagai kelompok individu yang diikat oleh kepentingan umum untuk mencapai tujuan-tujuan, dimana usaha bersama ditanggung oleh sebuah kerangka institusional yang sudah eksis sebelumnya (1990, p.5). North berargumen bahwa ada hubungan simbiosi antara organisasi dan institusi, dimana organisasi berusaha mengubah kerangka kerja institusi dan secara bersamaan diatur oleh kendala-kendalanya. Mereka mungkin mempengaruhi bagaimana kerangka institusi dibentuk, namun akhirnya institusilah yang memegang kekuasaan dan menentukan aturan main (1990, p.5-6). Pandangan North bersifat pluralistic dimana ia mengakui adanya pengaruh yang dibagi antara institusi dan organisasi, namun pada sisi lain dia melihat institusilah yang berlaku sebagai wasit akhir dari pengambilan keputusan politik.
Untuk memberikan pandangan literatur mengenai sejarah Spanyol dan kedua klub, saya menggunakan sumber otoritatif oleh Stanley Payne mengenai perang dunia dan kehidupan fasis di Spanyol. Dalam Fascism in Spain: 1923-1977, Payne memberikan analisa mendalam mengenai rezim Jose Antonio Primo de Rivera dan Jenderal Franco, yang mencakup sejarah pergerakan Falangis (sebutan untuk pengikut partai politik Jenderal Franco).

Konteks Historis
Untuk memperoleh pemahaman lebih mengenai peran FC Barcelona dan Real Madrid dalam lingkungan politik Spanyol, pertama sekali kita harus menganalisa konteks historis yang melingkupi kemunculan kedua klub. Sejatinya, tataran politik yang kita anggap sebagai Spanyol modern mulai terbentuk sejak abad ke-16, dimana institusi Spanyol memiliki asal-muasalnya pada Abad Pertengahan dan reformasi prinsip-prinsip Kristen yang sedang terjadi saat itu (Payne: 1999, p.3).
Dengan kerajaan bersifat lokal dan dinasti sebagai unit dasar peradaban barat pada era tersebut, apa yang kita kenal sekarang sebagai Spanyol berawal dari lima kerajaan terpisah dengan konsep kebangsaan yang menyeluruh yang dikenal dengan nama “Hispania” (Payne: 1999, p.3). Dalam konteks inilah mulai muncul sistem regionalisme yang membentuk karakter perpolitikan Spanyol.
Sementara monarki Bourbon menanamkan rasa kebangsaan yang lebih besar selama tahun 1800-an dan reformasi yang diperkenalkan oleh Charles III secara khusus menekankan sentralisasi administrasi (Ventos: 1991, p.99), namun sejarah menunjukkan keunggulan politik terkait sentralisasi lenyap oleh perang Spanyol-Amerika tahun 1898. Dalam istilah Stanley Payne “trauma pasca-kolonialisme modern pertama di Eropa Barat” (1999, p.11), angkatan laut Spanyol dihancurkan oleh Amerika Serikat dan berlanjut pada pengkotak-kotakan wilayah colonial termasuk Kuba, Puerto Rico dan Filipina (Hendrikson: 2003, p.52).
Musnahnya kekaisaran Spanyol di seberang laut tampak sebagai simbol kegagalan Spanyol modern sebagai sebuah negara dan sistem, dimana kaum elit membuka peluang proses demokratisasi yang disebut-sebut sebagai pembuka konflik mendalam di negara Spanyol (Payne: 1987, p.9). Payne (1987, p.7) percaya bahwa momen ini dalam sejarah modern Spanyol menyebabkan sebuah “ketiadaan nasionalisme”, sementara Xavier de Ventos (1991, p.135) telah menulis bahwa masyarakat Spanyol semakin dekat pada kerumitan, yang mengubah keadaan dari dalam menuju ledakan politik.
Elemen-elemen ini dapat dilihat sebagai “pustaka bencana” oleh pergerakan regenerasionis yang muncul di Spanyol segera setelah kekalahan kekaisaran, dimana terbit tulisan-tulisan bermuatan politis yang mencoba untuk memunculkan reformasi untuk memperbaiki erosi identitas kolektif Spanyol (Payne: 1987, p.9-10). Jimmy Burns (1999, p.xv) menulis inilah masa turbulensi politik di Spanyol antara jatuhnya satu era dan perebutan kekuasaan oleh lainnya. Di dalam pergeseran tataran politik inilah Real Madrid dan FC Barcelona lahir, sesuatu yang pada hal-hal tertentu menjelaskan relevansi politis antara kedua klub yang terus terpelihara sampai hari ini.
Dengan konsensus politik yang tak mungkin dicapai dan setiap langkah reformasi demokrasi meningkatkan perpecahan sosial-politik (Payne: 1999, p.11), muncul argumentasi bahwa kedua institusi olahraga yang merepresentasikan elemen-elemen berbeda antara tradisional dan modern, yang selanjutnya didefinisikan melalui karya “noventayochistas”, penulis yang rajin berpikir mengenai “problem Spanyol” (Payne: 1999, p.11-12). Yang pasti, FC Barcelona dan Real Madrid didirikan pada masa pergolakan sosial dan politik skala besar, sehingga keadaan lingkungan pun terefleksikan dalam identitas mereka masing-masing. Sementara Spanyol berjuang dengan identitasnya selama tahun-tahun awal abada ke-20, Catalonia telah menjadi wilayah yang paling berkembang di seluruh negeri, dan berdasarkan Juan Linz (1973) yang dikutip dalam Hargreaves (2000, p.26), warga Catalan merasa tersinggung dengan keadaan negara yang inefisien. Setelah memodernisasi sektor politik dan ekonomi dengan relatif cepat (Hargreaves: 2000, p.26), sepakbola telah menjadi pegangan kelas menengah Catalan dan populasi ekspatriat yang menikmati buah dari pertumbuhan ekonomi yang signifikan (Burns: 1999, p.72).
Sejatinya, seharusnya ada kondisi ekonomi yang menguntungkan di Barcelona pada masa itu dikarenakan klub sepakbola utama di kota itu didirikan oleh ekspatriat liberal yang Makmur. Pria itulah yang menggagas pendirian FC Barcelona. Dia bernama Joan Gamper (inilah nama versi Catalonia untuk nama aslinya, Hans Kamper). Dia seorang business-man asal Swiss yang memiliki simpati besar terhadap nasionalis Katalan. Sejarah resmi klub menjelaskan bahwa Gamper secara penuh terintegrasi dengan Catalonia karena kemampuannya berbicara dan menulis dalam bahasa Catalan dan meleburkan dirinya dalam kultur wilayah setempat (FC Barcelona: 2011).
Dalam tulisannya di Morbo (2003, p.117), Phil Ball menunjukkan bahwa Real Madrid hampir tidak memiliki asal-usul yang sederhana, dikaitkan dengan kebangsawanan yang ada sejak awal mula. Sejatinya, bendahara awal Foot Ball Sky adalah Conde (Count) de La Quinta de La Enrajada, sarjana Oxford dan anggota kasta tinggi di masyarakat Spanyol. Semakin kuat koneksi terhadap pendirian dibanding FC Barcelona, institusionalisasi sosial Real Madrid dapat dikatakan menjadi stempel karet dengan adanya perlindungan oleh Alfonso XIII pada 1920 (Ball: 2003, p.117).