Zaman dahulu sebelum
terjadinya Perjanjian Tumbang Anoi (perkiraan waktu terjadinya Rajah Tubuh
mulai tidak digunakan) sebut saja masa Peralihan, bagi suku ngaju memiliki Rajah adalah hal yang biasa karena harusskan atau diwajibkan bagi anak tertua laki-laki memiliki
Rajah tubuh, dilakukannya hal tersebut sebagai bentuk untuk membuktikan kepada masyarakat sekitar bahwa mereka telah memenuhi hajat mamuei (janji/sumpah)
yang di berikan orang tua kampung (biasanya dalam betuk harus mendapatkan
kepala sebanyak yang telah di tentukan dan waktu yang telah di tentukan juga),
apabila tidak dapat memenuhi hajat mamuei tersebut maka sang anak tidak dapat
kembali ke kampung asalnya.
Rapat
Damai Tumbang Anoi
Jika di lihat dari
para tetua yang menjadi generasi atau berkelahiran tahun 80-an ke-atas akan sangat jelas terlihat bekas rajah pada kulit mereka, sebab pada masa itulah masa “Peralihan” itu
terjadi, dan apabila masih ada generasi berikutnya yang memiliki Rajah tersebut
dapat menyebabkan Hukum Adat yang telah di sepakati bersama seluruh Kalimantan
(Borneo), maka jenis dan cara mangayau mulai berubah bentuk tujuan.
Adapun alasan yang
menyebabkan wilayah lainnya masih mengunakan Rajah tubuh (menurut analisa) mungkin disebabkan: Jarak yang jauh dari Tempat
terjadinya Kesepakatan Bersama dalam arti tidak mengetahui adanya kesepakatan sehingga kesalahan yang dilakukan seolah-olah sengaja dilakukan untuk mengacaukan isi rapat yang telah ditetapkan.