Minggu, 28 Desember 2014

Rekonstruksi Identitas Dayak Kanayatn

Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.
Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar.
Sebagaimana identitas Dayak yang pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea, ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang, sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld, seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di Singkawang.
Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua.
Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).
Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985), sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina (mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).
Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini, kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang (Takdir;2003).
Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo, 1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia  (Simon;2003)
Ciri lain dari warisan budaya nenek moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, dengan cara dibakar. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India”
Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).
Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng, Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun 1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas. Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan menetap dikawasan itu.
Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”. Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng (bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai.
Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut Salako.

Sumber: Malahoi Desaku