Istilah Dayak Kanayatn secara jelas hanya tergambar dari tulisan Pastor
Donatus Dunselman OFM. Cap pada tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van
Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“.
Secara sistematis, sosialisasi
identitas “politik” ini mewarnai sejarah Kalimantan barat dengan aktor utama para
politisi, akademisi dan praktisi LSM. Ada dua periode kemunculan identitas ini, yang memiliki argumentasi
tersendiri. Periode pertama di wakili oleh adopsi dari hasil penelitian Pastor
Donatus Dunselman.
Periode ini berjalan kira-kira sejak tahun 1980-2000. Dan periode lainnya hanya sebuah periode kritikal identitas yang ditandai dengan upaya untuk mengembalikan identitas Dayak Kanayatn kepada mereka yakni Dayak yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
Periode ini berjalan kira-kira sejak tahun 1980-2000. Dan periode lainnya hanya sebuah periode kritikal identitas yang ditandai dengan upaya untuk mengembalikan identitas Dayak Kanayatn kepada mereka yakni Dayak yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
Periode pertama sebagaimana tulisan Pastor Donatus mungkin dengan cepat menyebar
dikalangan misionaris Katolik diberbagai kawasan. Sosialisasi identitas baru
ini menjadi lebih tersalurkan dengan dukungan dari petugas-petugas paroki, yang
setiap minggu berkunjung ke kampung-kampung Dayak. Hasilnya, identifikasi sebagai
Dayak Kanayatn muncul dikalangan Dayak yang sebelumnya belum begitu mengenal
identitas ini.
Identitas baru ini kemudian anggap sebagai sebuah kekuatan yang hebat
dalam hal populasi. Ini penting untuk proyeksi kekuatan politik. Dalam politik,
besaran populasi dan persatuan para elit Dayak di Kabupaten Sambas dan
Kabupaten Pontianak ketika itu menjadi sangat penting sebagai bagian dari
strategi politik yang dikembangkan pemerintah Indonesia untuk mengkooptasi dan
sekaligus merangkul kekuatan politik Dayak.
Menurut statistic tahun 1980, populasi orang-orang Dayak yang berbahasa
ba ahe, ba nana’, ba inyam, ba nyadu’, ba kati’, ba dameo, ba langin cukup
besar. Mereka hampir menguasai 20% dari seluruh populasi Dayak di Kalbar,
dengan penyebaran yang dominan di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak.
Karena itu, pada saat itu kelompok etnik ini merupakan pemilih potensial untuk memenangkan
Golkar, sebuah partai pendukung pemerintah.
Oevaang Oeray |
Bubarnya Partai Persatuan Dayak (PD) pada tahun 1960, memaksa
serangkaian perpecahan dikalangan internal politisi Dayak Kalbar. Mempersiapkan
diri menyongsong Pemilu 1971, bekas pengurus PD memisahkan diri. Kelompok
pertama menyatakan bergabung di Partindo. Kelompok ini dimotori oleh J.C.Oevaang Oeray, Gubernur Kalbar. Beberapa aktivis politik lainnya menyatakan
bergabung di Partai Katolik, kelompok ini dipimpin oleh F.C. Palaoensoeka,
anggota DPR RI.
Namun perpecahan ini menjadi kentara ketika, perubahan politik nasional berlangsung sedemikian cepat.
Namun perpecahan ini menjadi kentara ketika, perubahan politik nasional berlangsung sedemikian cepat.
Di masa pemerintahan Golkar, pemenang Pemilu 1971, partai-partai politik
berupaya di sederhanakan. Partai Katolik dan beberapa partai nasionalis lainnya
berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan beberapa partai Islam
berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sebagai partai pemerintah, Golkar mengkonsolidasikan tiga elemen penting; ABRI, Birokrat dan Golkar (ABG).
Sebagai partai pemerintah, Golkar mengkonsolidasikan tiga elemen penting; ABRI, Birokrat dan Golkar (ABG).
Membaca kencendrungan politik kelompok etnis Dayak yang beragam di
Kalbar, ada enam kelompok sub-etnik Dayak yang menarik perhatian Golkar. Dengan
beragam cara, elit Golkar meminta para elit-elit Dayak agar bergabung ke dalam
Golkar untuk ‘mewakili’ masyarakat Dayak. Beberapa ‘Dayak Golkar’ ini diberikan
tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa
diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi rezim yang memerintah, tentu saja elit-elit Dayak ini berfungsi
untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Mengingat
kemenangan Golkar telah ditetapkan sebelumnya, jumlah perbedaan suaranya dapat
dipertanyakan. Pada pemilu 1977, J.C. Oevaang Oeray berkampanye untuk Golkar.
Kemudian, Oeray diberikan jabatan anggota DPR RI di Jakarta. Pada pemilu 1977,
Oeray dan Aloysius Aloi ditunjuk sebagai anggota DPR; G.P Djaoeng dan Moses
Nyawath duduk di DPRD I; Rahmad Sahudin di Kabupaten Pontianak. dan Willem Amat
duduk di DPRD II Sangga.
Kemenangan Golkar di kelompok pemilih Dayak memunculkan keinginan kuat
untuk melembagakan orang-orang Dayak untuk bergabung di Golkar, sebagaimana
kebiasaan Golkar yang membentuk organisasi-organisasi sayap partai.
Di dorong keberhasilan mobilisasi Dayak dengan menggunakan “adat” sebagai bumper pemersatu pada peristiwa demonstrasi Cina tahun 1967 diseluruh wilayah Kabupaten Pontianak, adat dibidik Golkar sebagai prioritas. Lembaga-lembaga adat yang tersebar di level kewilayahan local berusaha di strukturisasi.
Di dorong keberhasilan mobilisasi Dayak dengan menggunakan “adat” sebagai bumper pemersatu pada peristiwa demonstrasi Cina tahun 1967 diseluruh wilayah Kabupaten Pontianak, adat dibidik Golkar sebagai prioritas. Lembaga-lembaga adat yang tersebar di level kewilayahan local berusaha di strukturisasi.
Keinginan ini ditangkap dengan cerdas oleh seorang Temenggung di
Pahauman, Kabupaten Pontianak. Harapannya, para politisi Dayak dari Golkar
menggunakan istilah ‘Kanayatn atau ‘Kendayan’ untuk mengumpulkan suara orang
Banana’-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas, khususnya di Kabupaten
Pontianak kala itu.
Tangan dingin F. Bahaudin Kay, Temenggung Binua Temila Ilir I Pahauman
mewujudkan ambisi itu. Kay dengan cekatan melaksanakan musyawarah adat
se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Gedung Serba Guna
Pahauman. Meski sebagian biaya musyawarah ini didukung Golkar, menurut Kay,
biaya musyawarah tersebut juga ditanggung oleh masyarakat adat yang
dimobilisasi oleh pengurus adat disetiap tingkatan, mulai dari Timanggong,
Pasirah dan Paraga. Oleh Kay, seluruh kepala keluarga diwajibkan mengumpulkan
sumbangan satu kaleng beras biasa dan satu kaleng beras ketan serta mengumpulkan dana sebanyak Rp.100/ KK.
Simbol tersebut terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dan dasarnya terdiri dari sebuah balok, jika sahabat blogger pernah berwisata ke pulau borneo, akan sangat mudah untuk mengetahui bagaimana bentuk simbol yang dimaksud diatas, kemudia pada simbol tersebut terdapat tulisan motto adat.
Motto: “Adil Ka'Talino. BacuraminKa' Saruga. Basengat Ka' Jubata”.